Saat Aku Menjadi Guru

 

            Kukira hanya lelucon ketika temanku memberitahuku kalau aku ditugasi untuk menjadi guru madrasah. Ternyata memang benar. Padahal belum pernah terbesit di dalam pikiranku bahwa aku bercita-cita menjadi guru. Imajinasi untuk berbicara di depan umum pernah, tapi bukan menjadi guru. Dan aku tak ingin menjadi guru karena banyak faktor. Diantaranya; aku bukan orang yang pandai berbicara, aku belum menjadi orang yang pantas untuk dijadikan contoh. Sekarang, aku akan sangat berterimakasih jika ada orang yang mau menggantikanku menjadi guru madrasah. Bukannya apa, tapi tanggungjawab guru madrasah yang mengajar akhlaq kepada anak-anak itulah yang membuatku sulit. Pikirku menjadi guru sekolah akan lebih mudah. Asal bukan di sekolah swasta yang banyak anak nakalnya. Barangkali aku bisa menyesuaikannya dengan rajin berlatih di Gym, membentuk otot, dan memakai jas yang dapat dilepas ketika di dalam kelas. Dengan begitu anak-anak, secara psikologi akan ragu jika mau macam-macam denganku.

            Bayangkan bagaimana rasanya ketika dirimu menganjurkan untuk melakukan hal baik kepada anak-anakmu, tapi dirimu masih seperti sampah. Mengatakan anakmu untuk solat tepat waktu, tapi dirimu masih bangun kesiangan. Mengatakan bahwa betapa pentingnya fiqih, tapi kau melanggar aturan-aturannya. Mengatakan bahwa dengan madrasah waktu mereka menjadi berharga, namun dibelakang semua itu, kau masih saja bermaksiat ria. Aku heran kenapa ada orang yang masih santai menasehati tapi dia seorang yang brengsek. Aku membenci orang itu sebagaimana aku membenci diriku sendiri.  Tapi meskipun aku membenci diriku sendiri, sebesar apapun kadar kebencianku, tetaplah aku terperangkap pada jiwa orang yang kubenci ini. Bagaimana pun juga, aku tetaplah apa yang kulakukan.

            Dulu aku memandang dunia terlalu polos. Bahwa dunia ini berisi orang baik dan orang buruk saja. Jika tak ingin berkumpul dengan orang buruk, berkumpullah dengan orang baik. Tapi semakin dewasa diriku, aku mulai sadar ternyata dunia tak sesederhana itu. Dunia ini penuh ambiguitas yang meskipun menggunakan berbagai macam tolak ukur, pasti tak akan kau temukan suatu ukuran yang pasti. Makanya aku mulai realistis untuk memandang seseorang. Realistis, radikal, bodoh, entahlah aku juga tak tahu apa yang kulakukan. Dalam satu waktu aku berkumpul dengan orang-orang baik, namun diwaktu itu juga aku membicarakan hal-hal yang tak penting sama sekali. Sungguh membingungkan ketika usia semakin dewasa, aku dipaksa untuk menjadi bapak dari anak-anak orang yang bahkan aku tak tahu mereka siapa.

            Menyerah dengan keadaan juga tak bisa memberikanku solusi. Lagipula, dalam hal apa aku menyerah? Ada tiga pilihan; mengajar, hal buruk, hidup. Aku bisa saja menyerah dari kegiatan mengajarku. Daripada aku terus pusing; belum mampu menjadi baik dan menjadi contoh untuk adik-adikku. Karena diriku yang kini memiliki label USTADZ, barangkali menyerah saja agar aku tidak pusing lagi. Atau aku menyerah dalam hal burukku. Tapi ibarat menghirup heroin (aku tak pernah menggunakannya. Serius! Aku hanya menggunakan perumpamaan ini agar terlihat keren), keburukan akan menuntut tubuh untuk terus melakukannya agar ketika keinginan ini kambuh, hati bisa tenang. Sebenarnya kewarasanku tahu bahwa hal ini buruk, tapi sulit sekali melepas rantai setan ini. Menyerah dari hal buruk lebih sulit daripada menyerah menjadi pengajar. Atau, pilihan yang paling mudah secara harfiah; menyerah untuk hidup. Aku merasakan kesulitan ini karena aku masih hidup. Orang mati tak perlu memikirkan masalah ini karena mereka hanya perlu menunggu kiamat untuk menempati peristirahatan abadi mereka. Makanya orang yang terlalu banyak pikiran bunuh diri adalah jalan terbaik untuk lepas dari kesulitan yang mereka alami. Lalu, menyerah jenis apa yang ingin aku pilih?

            Jika saat ini aku masih belum mampu memberikan contoh yang baik kepada adik-adikku (kusebut adik karena aku belum berkeluarga, akan kubahas hal ini di lain waktu), setidaknya aku bisa memberi contoh yang tak perlu kutunjukan langsung kepada mereka, bahwa aku mampu melawan keburukanku sendiri. Jika aku tidak mampu menjadi alasan bahwa adik-adikku kelak menjadi lebih baik, merekalah yang menjadi alasan diriku menjadi pribadi yang lebih baik. Aku memang tak sebaik sebagaimana guru seharusnya, tapi diusiaku yang masih 22 tentu ini adalah jalan yang harus kulewati untuk menemukan kebijaksanaan hidup. Apalagi diriku masih tahun pertama mengajar. Perlu banyak pengalaman untuk menjadi penggajar yang baik.

            Disisi lain aku berpikir bahwa kegiatan mengajar ini adalah anugerah yang tiada tara. Aku pernah bercita-cita menjadi penulis suatu hari nanti. Karena aku sangat suka membaca dan ingin sekali membuat suatu cerita yang mengagumkan dan rumit seperti film Inception. Tapi keinginan itu hanya sebatas keinginan. Sebanyak video motivasi menulis dari siapapun, entah dari Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, bahkan sampai dari penulis luar negeri sekalipun, jika aku tidak memiliki pondasi ilmu yang luas, apa yang akan aku bagi? Penulis ibarat orang kaya yang membagikan kekayaan ilmu yang dia punya kepada orang lain. Berbeda dengan kekayaan harta yang jika dikeluarkan justru semakin berkurang, membagi ilmu justru membuat ilmu itu bertambah. Jika aku ingin menjadi penulis, maka aku harus terbiasa menjalani siklus ini. Menambah ilmu untuk kelak membaginya.

            Pada awalnya aku berpikir, sepertinya keren menjadi penulis terkenal yang karyanya bestseller hingga puluhan kali. Tapi dari mengajar ini aku sadar, kalau membagi ilmu dengan dasar mencari kekayaan adalah jalan menuju kekecewaan. Bayangkan, ketika mengajar sering kesulitan menjaga anak-anak agar tidak gaduh, bayaran pun tak seberapa, masih saja usahaku tidak dihargai oleh orang lain. Kan brengsek!

            Setelah kupikir-pikir, mungkin ini cara Tuhan untuk mengajarkanku pada dunia yang aku pilih. Aku tak bercita-cita untuk menjadi guru di depan murid, tapi guru lewat literasi. Dan pelajaran pertama yang aku terima adalah aku harus ikhlas. Bahkan yang aku cita-citakan belum tentu pilihan terbaik untukku. Dan apa yang menyebalkan saat ini belum tentu buruk di masa depan. Menjadi guru membuka pikiranku untuk tak terlalu memikirkan keadaan kehidupanku yang serba tidak jelas. Mungkin aku saja yang masih belum mengerti bahwa ada pola unik yang harus kupelajari untuk mampu menemukan apa arti hidupku. Hmm, klise sekali. Pokoknya begitu lah.

            Anak-anak yang kudidik kini adalah tanggung jawabku. Aku tak berharap lebih bahwa mereka akan mengerti semua yang kuajarkan. Aku hanya memiliki niat untuk mengabdi pada pondokku. Akan kulakukan tugasku ini sebaik mungkin dan kuharap dari kegiatanku mengajar ini menjadi alasan bahwa aku akan berubah. Bagaimanapun keadaanku, aku harus melakukan sesuatu yang seharusnya kulakukan. Inilah jalan menuju ketenangan. Kerelaan untuk menerima kehidupan, apa adanya.

Annelies

Tulungagung, 1 Maret 2021 22:31


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Arduino?